Headlines News :
Home » , , , » GURU INTOLERAN ANCAMAN BAGI NKRI

GURU INTOLERAN ANCAMAN BAGI NKRI

Written By azmi nabil on Wednesday, December 12, 2018 | December 12, 2018


GURU INTOLERAN ANCAMAN BAGI NKRI


Siapa yang tak kenal ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi tersangka penistaan al-Maidah 51. Mendengar al-maidah 51 mengingatkan kita kepada demo berjilid-jilid yang digelar di Jakarta 2017. Bukan hanya di Jakarta, kabarnya demo itu juga di gelar di berbagai kota-kota besar di Indonesia dengan massa dari berbagai lintas usia, dari remaja sampai tua.
Belum redup kemelutnya berita tentang demo Jagad maya kembali digegerkan dengan adanya sebuah rekaman arak-arakan oleh anak-anak berbaju putih yang memplesetkan lagu “ menanam jagung di kebun kita” di ganti dengan “bunuh, bunuh, bunuh si ahok sekarang juga!”
Beberapa bulan kemudian warganet kembali di hebohkan oleh pemaksaan pengenaan jilbab di salah satu sekolah negeri di Indonesia. Sedangkan yang tak mengenakan jilbab kerap di sindir sehingga mereka merasa tertekan.
            Survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui proyek Convey Indonesia pada 2017 lalu mengungkap, sebanyak 58,5 persen responden memiliki pandangan keagamaan yang radikal. Sementara sebanyak 34,3 persen responden cenderung memelihara pandangan intoleran terhadap kelompok agama non-Islam.
Dalam survei tersebut sedikit disinggung bahwa guru-guru di Indonesia terindikasi berperan dalam tren intoleransi yang saat ini makin lekat dengan generasi muda Indonesia.
Pada Selasa (16/10) lalu, PPIM UIN melalui proyek Convey Indonesia mengumumkan survei teranyarnya mengenai guru. Berjudul “Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru di Indonesia”, survei tersebut menegaskan bahwa sebagian besar guru di Indonesia memang memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda.
Secara umum, menurut survei ini, jumlah guru di Indonesia yang memiliki opini intoleransi dan opini radikal cukup tinggi dengan persentase masing-masing sebesar 50,87 persen dan 40,14 persen dari total responden.
            Sebanyak 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Lebih jauh, 21 persen guru menyatakan tidak setuju jika ada tetangga yang berbeda keyakinan mengadakan acara keagamaan di kediaman mereka. Inilah contoh-contoh opini intoleran yang ditunjukkan oleh survei tersebut.
Sebanyak 33 persen guru setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang demi mewujudkan negara Islam. Sebanyak 29 persen guru juga menyatakan setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak demi mendirikan negara Islam. Dalam survei yang sama, pandangan seperti ini disebut opini radikal.

           Yang menarik, 82,77 persen responden menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan masyarakat; 40,36 persen setuju bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada di dalam Al-Qur'an sehingga Muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat.
           Perlu dicatat, secara demografis, guru mata pelajaran bahasa (Arab, Indonesia, Inggris, dan Daerah), olahraga, kesenian dan ketrampilan, dan guru kelas memiliki "intoleransi eksternal", opini, dan intensi-aksi radikal” yang lebih tinggi dibandingkan guru lainnya.
          Survei “Pelita yang Meredup” menyebutkan, salah satu faktor erat yang melatar belakangi dengan kecenderungan intoleransi dan radikalisme para guru adalah faktor penghasilan. Riset ini menemukan bahwa semakin rendah penghasilan yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi opini dan intensi-aksi radikal mereka. Lebih lanjut, guru madrasah ternyata juga memiliki opini yang cenderung lebih intoleran pada pemeluk agama lain.
          Kasus-kasus tersebut tidak bisa di anggap enteng, apalagi kedua kasus tersebut melibatkan anak-anak. Ditambah dengan survey dari PPIM UIN yang menyatakan sebagian besar guru mengidap intoleransi.
          Indonesia merupakan Negara kesatuan yang dibentuk dari berbagai macam suku, ras dan agama. Hal itu tertuang dalam pita yang bertuliskan “bhinneka tunggal ika” yang berada di dalam cengkaram garuda yang sebagai simbol Negara Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya toleransi dalam menjaga keutuhan Indonesia. faktor utama kokohnya sebuah negara adalah idealisme pemersatu, dengan bersatu maka cita-cita mulya sebuah bangsa akan mudah tercapai. sebaliknya jika pandangan intoleran dan radikal yang dipelihara, maka buakn tidak mungkin runtuhnya negara tersebut.

          Dalam prespektif filsafat pendidikan islam pendidik merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan kepada peserta didik dan mengupayakan seluruh potensi mereka, baik afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam. Sedangkan sekolah merupakan lingkungan formal pendidikan.
            Pada kasus arak-arakan obor kita dapat melihat hal tersebut tak mungkin terjadi jikalau tidak ada orang dewasa yang mengajari anak-anak tersebut sedemikian rupa. Sedangkan pada kasus pemaksaan pengenaan jilbab menunjukkan adanya lingkungan formal yang berjalan tidak sesuai prinsip Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Mengurai Ancaman

Membuat standar pembayaran guru tanpa membedakan sekolahnya negeri ataupun swasta merupakan hal yang utama yang penulis rekomendasikan kepada pemerintah, pasalnya menilik survey “pelita yang meredup” faktor penghasilanlah yang berkorelasi erat akan kecenderungan intoleransi guru.
Selanjutnya, merekomendasikan Institusi pendidikan agar menggalakkan program yang bernuansa memberikan pengalaman kemajemukan agama dan wawasan kebinekaan bagi guru-guru agama.
KESIMPULAN

Kasus pawai obor oleh anak-anak dan pemaksaan pengenaan jilbab oleh sekolah menunjukan bahwa wabah intoleran telah menjangkit NKRI.
Sebagian besar guru di Indonesia memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda. Secara umum, jumlah guru di Indonesia yang memiliki opini intoleransi dan opini radikal cukup tinggi dengan persentase masing-masing sebesar 50,87 persen dan 40,14 persen dari total responden.
Pemerintah harus mengupayakan membuat standart minimum gaji dan penyamaan pembayaran tanpa membedakan status sekolahnya negeri ataupun swasta.
Pemerintah harus menggalakkan program yang bernuansa memberikan pengalaman kemajemukan agama dan wawasan kebinekaan bagi guru-guru agama agar dapat memberikan pesan indahnya keragaman.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Template Information

 
Support : DEWAN MUDA | Informatif dan Kongkret | Romantis dan Asyik
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DEWAN MUDA - All Rights Reserved
Template Design by AZMI NABIL Published by Dewan Muda