GURU INTOLERAN ANCAMAN BAGI NKRI
Siapa yang tak
kenal ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi tersangka penistaan
al-Maidah 51. Mendengar al-maidah 51 mengingatkan kita kepada demo berjilid-jilid
yang digelar di Jakarta 2017. Bukan hanya di Jakarta, kabarnya demo itu juga di
gelar di berbagai kota-kota besar di Indonesia dengan massa dari berbagai
lintas usia, dari remaja sampai tua.
Belum redup
kemelutnya berita tentang demo Jagad maya kembali digegerkan dengan adanya
sebuah rekaman arak-arakan oleh anak-anak berbaju putih yang memplesetkan lagu
“ menanam jagung di kebun kita” di ganti dengan “bunuh, bunuh, bunuh si ahok
sekarang juga!”
Beberapa bulan
kemudian warganet kembali di hebohkan oleh pemaksaan pengenaan jilbab di salah
satu sekolah negeri di Indonesia. Sedangkan yang tak mengenakan jilbab kerap di
sindir sehingga mereka merasa tertekan.
Survei nasional
yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta melalui proyek Convey Indonesia pada 2017 lalu mengungkap,
sebanyak 58,5 persen responden memiliki pandangan keagamaan yang radikal.
Sementara sebanyak 34,3 persen responden cenderung memelihara pandangan
intoleran terhadap kelompok agama non-Islam.
Dalam survei
tersebut sedikit disinggung bahwa guru-guru di Indonesia terindikasi berperan
dalam tren intoleransi yang saat ini makin lekat dengan generasi muda
Indonesia.
Pada Selasa
(16/10) lalu, PPIM UIN melalui proyek Convey Indonesia mengumumkan survei
teranyarnya mengenai guru. Berjudul “Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman
Guru di Indonesia”, survei tersebut menegaskan bahwa sebagian besar guru di
Indonesia memang memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat
memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda.
Secara umum,
menurut survei ini, jumlah guru di Indonesia yang memiliki opini intoleransi
dan opini radikal cukup tinggi dengan persentase masing-masing sebesar 50,87
persen dan 40,14 persen dari total responden.
Sebanyak 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh
mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Lebih jauh, 21 persen guru
menyatakan tidak setuju jika ada tetangga yang berbeda keyakinan mengadakan
acara keagamaan di kediaman mereka. Inilah contoh-contoh opini intoleran yang
ditunjukkan oleh survei tersebut.
Sebanyak 33
persen guru setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang demi
mewujudkan negara Islam. Sebanyak 29 persen guru juga menyatakan setuju untuk
ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak demi mendirikan negara
Islam. Dalam survei yang sama, pandangan seperti ini disebut opini radikal.
Yang menarik, 82,77 persen responden menyatakan bahwa Islam adalah
satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan masyarakat; 40,36 persen setuju
bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada di dalam Al-Qur'an sehingga Muslim
tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat.
Perlu dicatat, secara demografis, guru mata pelajaran bahasa (Arab,
Indonesia, Inggris, dan Daerah), olahraga, kesenian dan ketrampilan, dan guru
kelas memiliki "intoleransi eksternal", opini, dan intensi-aksi
radikal” yang lebih tinggi dibandingkan guru lainnya.
Survei “Pelita yang Meredup” menyebutkan, salah satu faktor erat
yang melatar belakangi dengan kecenderungan intoleransi dan radikalisme para
guru adalah faktor penghasilan. Riset ini menemukan bahwa semakin rendah
penghasilan yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi opini dan intensi-aksi
radikal mereka. Lebih lanjut, guru madrasah ternyata juga memiliki opini yang
cenderung lebih intoleran pada pemeluk agama lain.
Kasus-kasus tersebut
tidak bisa di anggap enteng, apalagi kedua kasus tersebut melibatkan anak-anak.
Ditambah dengan survey dari PPIM UIN yang menyatakan sebagian besar guru mengidap
intoleransi.
Indonesia
merupakan Negara kesatuan yang dibentuk dari berbagai macam suku, ras dan
agama. Hal itu tertuang dalam pita yang bertuliskan “bhinneka tunggal ika” yang
berada di dalam cengkaram garuda yang sebagai simbol Negara Indonesia. Hal ini
menunjukkan pentingnya toleransi dalam menjaga keutuhan Indonesia. faktor utama kokohnya sebuah negara adalah idealisme pemersatu, dengan bersatu maka cita-cita mulya sebuah bangsa akan mudah tercapai. sebaliknya jika pandangan intoleran dan radikal yang dipelihara, maka buakn tidak mungkin runtuhnya negara tersebut.
Dalam prespektif
filsafat pendidikan islam pendidik merupakan orang dewasa yang bertanggung
jawab memberi bimbingan kepada peserta didik dan mengupayakan seluruh potensi
mereka, baik afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai
ajaran islam. Sedangkan sekolah merupakan lingkungan formal pendidikan.
Pada kasus
arak-arakan obor kita dapat melihat hal tersebut tak mungkin terjadi jikalau
tidak ada orang dewasa yang mengajari anak-anak tersebut sedemikian rupa.
Sedangkan pada kasus pemaksaan pengenaan jilbab menunjukkan adanya lingkungan
formal yang berjalan tidak sesuai prinsip Negara kesatuan republik Indonesia
(NKRI).
Mengurai Ancaman
Membuat standar
pembayaran guru tanpa membedakan sekolahnya negeri ataupun swasta merupakan hal
yang utama yang penulis rekomendasikan kepada pemerintah, pasalnya menilik
survey “pelita yang meredup” faktor penghasilanlah yang berkorelasi erat akan
kecenderungan intoleransi guru.
Selanjutnya,
merekomendasikan Institusi pendidikan agar menggalakkan program yang bernuansa
memberikan pengalaman kemajemukan agama dan wawasan kebinekaan bagi guru-guru
agama.
KESIMPULAN
Kasus pawai
obor oleh anak-anak dan pemaksaan pengenaan jilbab oleh sekolah menunjukan
bahwa wabah intoleran telah menjangkit NKRI.
Sebagian besar
guru di Indonesia memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat
memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda. Secara umum, jumlah guru di
Indonesia yang memiliki opini intoleransi dan opini radikal cukup tinggi dengan
persentase masing-masing sebesar 50,87 persen dan 40,14 persen dari total
responden.
Pemerintah
harus mengupayakan membuat standart minimum gaji dan penyamaan pembayaran tanpa
membedakan status sekolahnya negeri ataupun swasta.
Pemerintah
harus menggalakkan program yang bernuansa memberikan pengalaman kemajemukan
agama dan wawasan kebinekaan bagi guru-guru agama agar dapat memberikan pesan
indahnya keragaman.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !